NAMPANG DI PEMATANG SAWAH

NAMPANG DI PEMATANG SAWAH
ECTION DULU YACH...!!!

Minggu, 20 Februari 2011

MENGHAPUS TRAUMA DAN MENGANGKAT UMAT DENGAN TASAWUF

Menghapus Trauma dan Mengangkat Ummat dengan Tasawwuf
  • Seorang ahli fiqih terkemuka di Madinah pada awal periode setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abi Talib yang lebih dikenal dengan nama Zainal Abidin yang berarti ‘panutan para ahli ibadah’. Dia adalah cicit Nabi Muhammd saw., cucu Ali bin Abi Talib ra., putera Husein yang menjadi korban pembantaian yang dilakukan tentara Yazid bin Mu’awaiyah pada 10 Muharram 61 H di Karbala.

Zainal Abidin ditawan kemudian dibawa ke Kufah, dihadapkan pada gubernur Ubaidullah bin Ziyad yang membawanya ke Damaskus untuk diajukan pada peradilan Khalifah Yazid. Namun akhirnya dibebaskan dan diantar ke Madinah, kota tempat Rasulullah saw. dimakamkan.

Trauma berat yang dialaminya menyebabkan dia memilih jalan hidup yang menjauhi kekejian dan kesesatan, mendekat pada keridho’an Allah swt. Waktunya dihabiskan untuk beribadah, memperdalam ilmu Fiqih dan bersujud, sehingga mendapat nama tambahan As Sajjad yang berarti orang yang senang sujud.

Puteranya yang bernama Imam Muhammad al Baqir, berceritera tentang ayahnya: “setiap kali mendapat nikmat Allah, ayah langsung bersujud, setiap kali beliau membaca ayat Al Qur’an tentang sujud langsung bersujud. Setiap kali selesai shalat fardhu langsung bersujud. Setiap kali berhasil mendamaikan orang yang berselisih, ayah langsung melakukan sujud. Disebabkan sering bersujud, tampak bekas dikeningnya, sehingga beliau dijuluki As Sajjad”.

Pada diri Zainal mengalir darah Quraisy berasal dari ayahnya, dan darah bangsawan ibunya yang bernama Sulafah, puteri raja Persia. Dia lebih mengandalkan pada amal dan ibadahnya sendiri dari pada menapaki jejak garis keturunan nasabnya. Bila sedang berada di Makkah, waktu malamnya lebih banyak diisi dengan shalat dan thawaf di Masjidil Haram, sedang waktu siangnya dipergunakan untuk beramal shalih dan mensyi’arkan ajaran Islam. Sewaktu sahabatnya Thawus al Yamani bertanya mengapa dia berbuat demikian sedang orang lain tidak, apalagi Zainal Abidin keturunan Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib ra. dan Fatimah ra. serta Husein, dia menjawab: “Tidak, tidak wahai Thawus. Jangan sebut-sebut ayahku, ibuku dan datukku. Sungguh Allah swt. telah menciptakan surga bagi siapa yang taat kepadaNya dan berbuat kebajikan, meskipun dia budak hitam dari negeri Habsyi. Dan ia menciptakan neraka bagi siapa yang bermaksiat kepadaNya, meskipun ia seorang Quraisy. Tidakkah kau dengar firman Allah:

“Apabila sangka-kala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya”.

(Surat Mukminun ayat 101)

Selanjutnya dia berkata: “Demi Allah tidak ada yang dapat memberi manfaat kelak pada hari kiamat kecuali amal kebajikan yang akan berada di depanmu dan menjadi petunjuk jalanmu”.

Doa’, dzikir dan munajatnya dijadikan pegangan kaum sufi dan para ulama di belakangnya, diantaranya:

“Bismillahirrahmanirrahiim,

Tuhanku

Kesalahan telah menutupku dengan pakaian kehinaan

Perpisahan dariMu telah membungkusku dengan jubah kerendahan

Besarnya dosa telah mematikan hatiku

Hidupkan aku dengan ampunanMu

Wahai Citra dan Dambaku

Wahai Ingin dan Harapku

Demi KeagunganMu

Tidak kudapatkan pengampunan dosaku selainMu

Tidak kulihat penyembuhan lukaku selainMu

Aku pasrah berserah padaMu

Aku tunduk bersimpuh padaMu

Jika Kau usir aku dari pintuMu

kepada siapa lagi aku bernaung

Jika Kau tolak aku dari sisiMu

kepada siapa lagi aku berlindung

Celaka sudah diriku

lantaran aib dan celaku

Malang benar aku

karena kejelekan dan kejahatanku

Aku bermohon padaMu

Wahai Pengampun dosa yang besar

Wahai penyembuh tulang yang patah

Anugerahkan padaku penghancur dosa

Tutuplah untukku pembongkar cela

Jangan lewatkan aku di hari kiamah

dari sejuknya ampunan dan maghfirahMu

Jangan tinggalkan aku

dari indahnya maaf dan penghapusanMu

Illahi,

naungi dosa-dosaku dengan awan rahmatMu

curahi cela-celaku dengan hujan kasihMu

Illahi,

Kepada siapa lagi hamba lari kecuali pada maulaNya

Adakah selain Dia yang melindungi dari murkaNya.

. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . ..

( dan seterusnya, dari: ‘The Sufism Verses’)

Dikisahkan bahwa Zainal Abidin adalah anak yang sangat hormat pada ibunya. Waktu seorang sahabat bertanya kepadanya perihal sikap ‘Birrul Walidain’, menyantuni, menghormati kedua orang tua dimana belum pernah terlihat dia makan satu nampan (piring besar berisi makanan dan lauk-pauknya untuk dua sampai empat orang) bersama ibunya, Zainal menjawab: “Memang demikian, karena aku takut terdahulu tanganku ke dalam nampan makanan daripada kerling mata ibuku, sehingga bila terjadi demikian, maka aku sudah menyakiti hatinya”.

Walaupun Ali bin Husein Zainal Abidin banyak beribadah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt., ia tidak pernah mengabaikan masyarakat di sekitarnya. Ia selalu tampil sebagai pemimpin spiritual bagi ummat dimanapun dia berada. Ia selalu memanfaatkan dirinya sebagai sumber ilmu dan panutan akhlak mulia; demikian komentar Al Ghazali dan ulama sufi lainnya.

Peristiwa Karbala dengan segala akibatnya memberikan pelajaran penting baginya, betapa sebagian besar masyarakat Islam pada waktu itu telah diliputi kebingungan, kebekuan pikiran, serba salah dalam bertindak, dan selau terbentur menghadapi teror dan kedzaliman para penguasa. Sebagian lagi bersikap acuh-tak acuh, menghindari protes dan membiarkan apa saja yang terjadi, walaupun hal itu diketahui akan membawa ke arah kehancuran.

Ali bin Husein Zainal Abidin bertindak dengan sangat hati-hati membenahi keadan masyarakat, menyadarkan mereka akan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Ia mengupayakan perbaikan secara menyeluruh, membebaskan mereka dari sifat apatis dan larut dalam kemerosotan moral.

(Ensiklopedi Islam).

Abu Ali Al Fudhail bin Iyadh ra. berkata:

“Tempuhlah jalan-jalan hidayah, janganlah karena sedikitnya para penempuh jalan itu lalu kamu terhalang jalan, jauhi jalan-jalan kesesatan dan jangan kau tertipu karena banyaknya orang yang binasa”.

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra. ia berkata, Rasulullah saw. berdo’a:

“Allahumma yaa musharrifal quluubi sharrif quluubanaa ‘alaa thaa’atik”.

(“Yaa Allah, yaa Tuhan Yang membolak-balikkan hati gerakkanlah hati kami untuk selalu menta’atiMu”.)

Dari Aisyah ra. ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. membaca do’a, sedangkan ketika itu ia bersandar kepadaku:

“Allahummaghfir lii warhamnil wa alhiqnii birrafiiqil a’laa”.

“Yaa Allah, ampunilah daku, limpahkanlah rahmat kepadaku dan pertemukan aku dengan teman-teman yang bermartabat tinggi” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Tidak ada komentar: