NAMPANG DI PEMATANG SAWAH

NAMPANG DI PEMATANG SAWAH
ECTION DULU YACH...!!!

Rabu, 08 September 2010

Jalan Menuju Taqwa.

Untuk meraih predikat taqwa maka perlu usaha-usaha konkrit/nyata yang harus kita lakukan. Nah untuk meneliti jalan tersebut ada beberapa cara diantaranya:

1. Mu’ahadah, yaitu senantiasa mengingat perjanjian dengan Allah, bahwasanya kita adalah hamba Allah yang diperintahkan untuk senantiasa mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Bagi orang-orang yang mengerjakan shalat mereka berjanji sekurang-kurangnya sebanyak 17 kali bahwa dia tidak akan menyembah Tuhan selain kepada Allah dan tidak memohon pertolongan selain kepada Allah.

2. Mu’aqobah, yaitu senantiasa memberi sangsi kepada diri sendiri apabila melakukan kesalahan atau lalai dari taat dan ibadah kepada Allah. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khaththab tatkala beliau mengunjungi salah satu kebun, beliau menyaksikan orang-orang yang telah selesai shalat Ashar berjama’ah. Beliau merasa sangat rugi ketinggalan shalat Ashar berjama’ah, maka sebagai hukumannya beliau menginfaqkan kebun yang beliau kunjungi itu untuk kepentingan kaum muslimin, karena kebunnya tersebut telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah.

3. Mujahadah, yaitu selalu bersungguh-sungguh dalam setiap amal sekecil apapun, karena kesuksesan besar itu berawal dari yang kecil-kecil, manakala yang kecil saja tidak mampu dan diabaikan, lalu bagaimana akan meraih yang besar. Kesungguhan dalam beramal, bekerja dan beribadah itu merupakan bukti keimanan seorang mukmin, yaitu beriman dengan meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.

4. Muroqobah, yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah. Kesadaran merasakan pengawasan Allah ini sehingga melahirkan kesetiaan dan ketaatan setiat saat. Saat bekerja dirumah, saat dalam perjalanan atau dimana saja berada. Merasakan pengawasan Allah akan membangung kepekaan hati untuk senantiasa taat kepada Allah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan sejak dari kemaksiatan mata sampai kepada perut.

5. Muhasabah, yaitu selalu menghisab/menghitung amal yang kita kerjakan membandingkan antara amal yang baik dengan amal yang buruk sebelum segala perbuatan kita dihisab oleh Allah. “Semut diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak.” Janganlah kita menjadi orang sibuk mengoreksi pekerjaan dan urusan serta kesalahan orang lain sementara kekurangan dan kesalahan sendiri terlupakan.

Mengingat Perjanjian

Setiap muslim, sesungguhnya telah melakukan perjanjian dengan Rabb-nya saat ia melakukan shalat. Ketika kita melaksanakan shalat, kita sudah pasti mengucapkan kalimat, “Hanya kepada Engkau yang kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” Ayat keempat dalam surat Al-Fatihah ini merupakan perjanjian seorang hamba kepada Rabb-nya. Sebuah perjanjian untuk tidak akan menyembah selain Allah, dan sebuah perjanjian tidak akan melakukan kesyirikan kepada-Nya.

***

Merasakan Kesertaan Allah

Muraqabah ialah merasakan keagungan Allah azza wa jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW ditanya oleh Malaikat Jibril tentang ihsan, beliau bersabda, “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-seolah kamu melihat-Nya, dan jika memang kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”

Menjaga niat agar selalu dalam niat yang benar, terbebas dari niat yang ditunggangi syahwat duniawi, adalah sebuah cara dalam melakukan muraqabah.

Beberapa jenis muraqabah yang harus kita pahami, yaitu muraqabah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya. Muraqabah dalam kemaksiyatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. Dan muraqabah dalam musibah adalah dengan ridha terhadap ketentuan Allah, dan memohon pertolongan kepada-Nya dengan penuh kesabaran.

***

Introspeksi Diri

Melakukan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang mu’min merupakan keharusan. Sebab, setiap amal yang telah kita lakukan akan dihisab di akhirat kelak. Maka, hendaknya kita menghisab diri terhadap setiap perbuatan. Sudah luruskah niatnya? Benarkah caranya? Dan bermanfaatkah bagi kita dan orang lain?

Berkaitan dengan hal ini, Umar bin Khattab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

***

Memberi Sanksi

Bila kita melakukan sebuah kesalahan maka tidak pantas kita membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah melakukan perlanggaran-pelanggaran berikutnya, dan akan semakin sulit meninggalkannya. Sepatutnya kita memberikan sanksi (mu’aqabah) atas setiap kesalahan yang kita lakukan.

Namun hendaknya, sanksi yang kita berikan baik kepada diri atau pun orang lain merupakan sebuah sanksi yang mubah, yang dapat diterapkan untuk memberikan peringatan, dan membuat kita termotivasi menghindari setiap kesalahan sekecil apapun. Memberikan sanksi bertujuan agar kita selalu ingat bahwa di akhirat kelak setiap perbuatan dosa akan mendapat balasannya -kecuali sudah diampuni Allah yang Maha Pengampun-. Misalnya, saat kita tidak melakukan shaum sunnah, qiyamul lail atau tilawah, kita paksakan diri kita untuk bersedekah, atau beramal shalih lainnya.

Mengoptimalkan Kemampuan

Mujahadah (optimalisasi) merupakan sebuah upaya agar kita memiliki kesungguhan, ketegasan, keseriusan, dan semangat yang tinggi bila suatu waktu kita dihinggapi penyakit malas, santai, atau futhur dalam melaksanakan amal-amal sunah dan ketaatan lainnya. Para sahabat dan salafus shalih telah memberikan contoh cara mereka bermujahadah. Misalnya, Umar bin Khattab pernah ketinggalan shalat berjamaah. Lalu malam harinya beliau isi dengan ibadah dan tidak tidur.

Namun hendaknya dalam bermujahadah, kita harus memperhatikan dua hal penting berikut. Pertama, hendaknya amal-amal yang sunnah tidak membuat lupa akan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Misalnya, mengerjakan suatu sunnah tertentu jangan sampai mengabaikan hak-hak keluarga (nafkah), atau mengabaikan hak dirinya. Kedua, tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunnah yang diluar kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar: