NAMPANG DI PEMATANG SAWAH

NAMPANG DI PEMATANG SAWAH
ECTION DULU YACH...!!!

Rabu, 18 Agustus 2010

Apa itu Mahram ?

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Sungguh ditusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath Thabrani dlm Shahihul Jami’)

Dari sini jelas bahwa perbuatan bersalaman atau cium pipi dengan lawan jenis (bukan mahram) sama sekali tidak dibenarkan dalam ajaran islam, bahkan termasuk dalam kesesatan yang nyata. Kita tidak akan membahas kelakuan yang jelas-jelas munkar, tetapi lebih kepada istilah mahram (yang banyak orang mengenal dengan istilah muhrim). Selanjutnya apa mahram itu sebenarnya ? Dan siapa saja yang menjadi mahram kita ?

Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.

Penggunaan kata muhrim untuk mahram perlu dicermati. Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi).

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 23 yaitu:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, suadara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Mahram sebab Keturunan

Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Allah berfirman pada ayat diatas:

“Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1)ibu-ibumu; (2)anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-saudaramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5)saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS An Nisa 23)

Dari ayat ini Jumhùrul ‘Ulàmà’, Imam ‘Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh

“anak-anakmu yang perempuan” (QS An Nisà 23).

Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi’iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berarti boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:


“Allàh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan” (QS An Nisà’:11).

Karena anak hasil zina tidak berhak mendapatkan warisan menurut ‘ijma’ maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)

Mahram sebab Susuan

Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” .(HR. Al Bukhàri dan Muslim)

Al-Qur’àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan:

“(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perempuan sepersusuan” (QS An Nisà’ 23).

Mahram sebab Perkawinan

Mahram sebab perkawinan ada tujuh.

“Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” (QS An Nisà’ :23)

“Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS An Nisà’ :23)

“Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” (QS An Nisà’ :23).

Menurut Jumhurul `Ulàmà’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)”. (QS An Nisà’ :22).

Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.

“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”
(QS An Nisà’ :23)

Rasulullàh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu; Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda:

“Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya” (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)

Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.

Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan ‘ijmà`ul `ulàmà’. ( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).

Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin ‘Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi SAW.

Zina dengan seorang perempuan -semoga Allàh menjauhkan kita semua dari itu- tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.

Wanita yang bersuami

Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami.

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS An Nisà’ :24).

Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan.

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS An Nisà’ :24).

Tidak ada komentar: