NAMPANG DI PEMATANG SAWAH

NAMPANG DI PEMATANG SAWAH
ECTION DULU YACH...!!!

Senin, 07 Juni 2010

Musik dan Ritual Ibadah

Musik adalah salah satu warna kehidupan di masa sekarang yang demikian kontras dengan masa sahabat dan ulama-ulama setelahnya. Jika dahulu generasi salaf demikian keras membenci musik berikut alat pendukungnya. Kini, musik justru dihalalkan, menjadi sumber nafkah, bahkan dijadikan sarana ibadah dan dakwah.

Fenomena Musik di Tengah Kehidupan Umat
Musik, di mata kebanyakan orang “hanyalah” bagian dari seni dan budaya. Namun demikian berbagai alat musik dan perangkat pendukungnya telah sedemikian menjamur. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah hampa dari musik. Televisi dan radio pun menjadi alat pemasar yang sangat efektif. Alhasil, musik semakin lekat dengan kehidupan umat. Seakan ia suatu kebutuhan primer yang mengiringi segala aktivitas kehidupan mereka. Hampir tak ada satu acara, baik besar maupun kecil kecuali diramaikannya. Festival, even olahraga, resepsi pernikahan, dan beragam acara lainnya di tengah umat, tak ada yang nihil darinya. Mulai dari dangdut, campursari, gending jawa, keroncong, pop, jazz, blues, rock, reggae, hip hop, R&B, rap, klasik, techno, house, country, black metal, hingga yang beraroma “padang pasir” seperti nasyid dan kasidah, saling berebut “pangsa pasar” yang tak lain adalah kaum muslimin.

Di banyak tempat, termasuk fasilitas-fasilitas umum, musik malah menjadi konsumsi “wajib”. Tempat ‘cangkruknya’ kawula muda, sarana transportasi darat, laut maupun udara, dan fasilitas umum lainnya pun tak sepi darinya. Tak heran, bila kemudian istilah full musik mempunyai nilai jual tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ‘ramai’ dengan lantunan ‘musik Islami’, dalam anggapan mereka. Demikianlah fenomena musik di tengah kehidupan umat. Nada dan iramanya benar-benar telah “membelenggu” kehidupan mereka.

Musik Dalam Timbangan Islam
Dalam timbangan Islam, musik merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak heran, bila Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Rahman mengingatkan para hamba-Nya dari fitnah musik ini, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Menurut sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumullah, ayat ini turun berkaitan dengan musik dan nyanyian. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani hal.142-144)

Dalam Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al- Qur`an, kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.

Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan:
“Bukankah ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai olok-olokan?”

Menanggapi hal ini Al-Imam Ibnu ‘Athiyyah rahimahullahu mengatakan:
“Ayat ini berkaitan pula dengan umat Muhammad. Bentuk penyesatannya dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak dengan kekufuran dan tidak pula dengan menjadikan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai olok-olokan. Akan tetapi dalam bentuk memalingkan manusia dari ibadah, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang dibenci (Allah Subhanahu wa Ta'ala), serta menyeret mereka ke dalam barisan pelaku maksiat dan orang-orang yang berjiwa rendah…” (Al-Muharrar Al-Wajiz 13/9, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi, hal. 154)

Demikian halnya dengan Al-Wahidi, sebagaimana dalam pernyataannya:
“Ayat ini meliputi siapa saja yang lebih memilih perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik daripada Al-Qur`an. Karena kata isytira` seringkali bermakna memilih dan mengganti.” (Al-Wasith 3/441, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 144-145)

Para pembaca, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik. Di antara sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah1:

“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya Allah Subhanahu wa Ta'ala adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 5590 dari sahabat Abu Amir (Abu Malik) Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu)

Bagaimanakah sikap para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama yang mengikuti jejak mereka tentang musik? Apakah mereka pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala?

Dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menegaskan bahwa para sahabat, para tabi’in, dan seluruh pemuka agama ini belum pernah menjadikan musik dengan segala jenisnya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ketaatan, bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela.

Sementara dalam Minhajus Sunnah 3/439, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menandaskan bahwa imam yang empat; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah sepakat tentang keharaman musik berikut alatnya.

Lebih spesifik lagi, Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 230-231) menyitir sikap para pemuka murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan generasi terdahulu madzhab Syafi’i, bahwa mereka sepakat mengingkari musik dan mendengarkannya. Adapun di kalangan muta’akhkhirin, para pemuka mereka mengingkarinya, di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari rahimahullahu. Sedangkan yang membolehkannya, hanyalah orang-orang yang sedikit ilmu lagi dikuasai oleh hawa nafsu.

Para pembaca yang mulia, demikianlah beberapa dalil dan keterangan para ulama seputar haramnya musik dan mendengarkannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.3

Ibadah dan Rambu-Rambunya
Ibadah merupakan ritual penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan ibadah, seorang hamba dapat bertaqarrub (mendekatkan dirinya) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan ibadah pula, seorang hamba menjadi insan bermakna dalam kehidupan ini. Kehidupannya akan senantiasa diberkahi, segala impitan dan kegalauan hidupnya pun akan teratasi dengan berbagai solusi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Ibadah pun mempunyai rambu-rambu. Jika rambu-rambu itu dikesampingkan, maka ibadah tersebut tidaklah bernilai sebagai amalan shalih dan tidak pula diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Sebuah ibadah tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan mempersembahkan ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan sanjungan manusia.
2. Mengikuti (tuntunan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu berkata:
“Sesungguhnya di antara suatu ketentuan di kalangan ulama’ bahwasanya tidak diperbolehkan bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang tidak disyariatkan (pada jenis ibadah tersebut), walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh); seperti adzan untuk dua shalat ied…4” Kemudian beliau mengatakan: “Bila hal ini telah diketahui, maka bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang haram lebih tidak boleh lagi, bahkan hukumnya sangat diharamkan.” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 162)

Bolehkah Melaksanakan Ibadah Dengan Iringan Musik dan Nasyid/kasidah?
Para pembaca yang mulia, menyoal boleh dan tidaknya ritual ibadah yang diiringi alunan musik, cobalah anda perhatikan dengan cermat rambu-rambu ibadah di atas. Kemudian, lakukan tinjauan ulang tentang hukum musik yang telah lalu. Apa kesimpulannya? Anda dan juga saya akan menyimpulkan bahwa ritual ibadah dengan iringan musik tidaklah diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan diharamkan. Mengapa demikian? Tentu karena beberapa hal:

1. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan para hamba-Nya akan bahaya musik sebagaimana dalam Surat Luqman ayat 6. Tentunya, sesuatu yang diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah bisa menjadi sarana untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya.

2. Rasulullah Subhanahu wa Ta'ala tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik. Bahkan dalam banyak sabdanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan umatnya dari fitnah musik tersebut. Demikian pula para sahabat dan para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik, tidak pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ketaatan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela, sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298).

Kalaulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik bahkan memperingatkan umat darinya, maka dari sisi manakah diperbolehkan?!

3. Sebagaimana telah lalu pada pembahasan Musik Dalam Timbangan Islam, bahwa hukum musik adalah haram, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta keterangan para ulama terkemuka. Di sisi lain, para ulama telah menentukan bahwa tidak diperbolehkan ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh). Tentunya, akan lebih tidak boleh lagi bahkan sangat diharamkan ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sesuatu yang haram (seperti halnya musik), sebagaimana keterangan Asy-Syaikh Al-Albani di atas.

4. Jika ditarik ke belakang, mata rantai sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual ibadah dengan iringan musik dan semacamnya ini merupakan kebiasaan orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Nasrani. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Al-A’raf: 51)

Demikian pula dengan kaum musyrikin Quraisy. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً

“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)

Sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya telah melarang umat Islam dari sikap menyerupai orang-orang kafir dan musyrik (tasyabbuh) dalam segala hal. Atas dasar itulah, maka orang-orang yang beribadah dengan iringan musik dengan berbagai jenisnya itu hakikatnya telah mengikuti cara musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya dalam beribadah. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 163)

Mungkin akan ada yang berkomentar: “Itu kan kalau pelaksanaannya dengan main-main dan senda gurau. Bagaimanakah jika pelaksanaannya dengan penuh kekhusyukan, bahkan yang didendangkan pun sesuatu yang mengajak kepada zuhud dan melembutkan qalbu, seperti nasyid dan kasidah?!”

Wahai saudaraku, sesungguhnya nasyid dan kasidah dengan iringan musiknya yang syahdu telah ada di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Di masa itu, penduduk Iraq lebih mengenalnya dengan sebutan taghbir. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, taghbir merupakan warisan kaum zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen.) dalam rangka memalingkan umat Islam dari Al-Qur`an.

Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu saat ditanya tentangnya, mengatakan:
“Ia adalah muhdats (sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada contoh sebelumnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pen).” Kemudian saat ditanya: “Apakah boleh duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk-duduk bersama mereka.” Beliau juga mengatakan: “Jika engkau bertemu dengan salah seorang dari mereka di satu jalan, maka lewatlah jalan selainnya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 11/298, Tahrim Alatith Tharbi hal. 163 dan Mukhalafat Ash-Shufiyyah Lil Imam Asy-Syafi’i hal. 176-177)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, setelah menyebutkan beberapa jenis musik termasuk di dalamnya taghbir, mengatakan:
“Barangsiapa memainkan musik dengan segala jenisnya, dengan keyakinan menjalankan agama dan sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya.” (Majmu’ Fatawa 11/576)

Tidak ada komentar: